Artinya “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
33 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti C. Memahami Makna Perubahan Diri Jawablah pertanyaan berikut ini 1. Apa yang kamu ketahui tentang perubahan diri? Apa yang berubah? 2. Perubahan apa yang dialami Saulus sebelum dia menjadi Paulus? 3. Apa yang Allah kehendaki untuk kamu ubah? Jawablah pertanyaan berikut ini 1. Apa yang dilakukan oleh perempuan itu? 2. Kapan dia menyadari kekeliruannya? 3. Sikap dan perubahan apa yang seharusnya dia lakukan? B. Cerita Alkitab Bacalah Kisah Para Rasul 91-19 Paulus memiliki nama asli Saulus. Ia seorang Yahudi yang sangat setia mempertahankan hukum Taurat agama Yahudi. Dengan segenap kemampuannya, ia berusaha membaca semua aturan yang dikeluarkan oleh imam besar. Waktu itu, banyak pengikut Kristus dicari oleh imam-imam besar untuk dianiaya, dimasukkan dalam penjara, dan ada yang dibunuh. Saulus adalah seorang pemuda yang sangat membenci pengikut Kristus. Karena itu, ia menjadi salah satu pemimpin pasukan orang-orang yang mengejar dan menyiksa orang-orang Kristen. Suatu hari, Saulus meminta surat kuasa kepada imam besar untuk mengejar dan membunuh para pengikut Kristus. Ketika dalam perjalanan ke Damsyik untuk mencari pengikut Yesus, tiba-tiba Saulus disinari cahaya yang sangat besar sehingga Saulus menjadi buta karena cahaya itu. Tiba-tiba, dari dalam cahaya itu, terdengarlah suara yang memanggil Saulus, kata-Nya “Saulus, Saulus, mengapa Engkau menganiaya Aku?” Jawab Saulus, “Siapakah Engkau, Tuhan?” Jawab-Nya, “Akulah Yesus yang kau aniaya itu. Sekarang, bangunlah dan pergilah ke Damsyik. Di sana engkau akan bertemu dengan seorang murid Kristus yang bernama Ananias.” Lalu Saulus ke Damsyik dan bertemu dengan Ananias. Ananias menumpangkan tangan atas Saulus dan berkata, “Saudaraku Saulus, Tuhan Yesus yang telah menampakkan diri di jalan yang Engkau lalui, Dia menyuruh aku kepadamu supaya kamu dapat melihat dan penuh dengan Roh Kudus.” Seketika itu juga Saulus dapat melihat dan ia dibaptis. Setelah Saulus bertobat, namanya diubah menjadi Paulus. Paulus menjadi terkenal sebagai pengikut Yesus yang mewartakan Injil ke seluruh kota, terutama di kota Roma. Ia meninggalkan kebiasaan buruknya menjadi murid kristus yang menceritakan kebenaran Allah ke seluruh dunia. Saulus adalah tokoh yang mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Merasa diri paling benar kemudian menyalahkan orang lain dan menyiksanya. Saulus tidak menyukai orang Kristen karena menurutnya orang Kristen adalah orang-orang yang melanggar hukum Taurat, karena itu pantas untuk dihukum atau disiksa. Saulus merasa memiliki hak untuk menghakimi orang Kristen. Namun Tuhan tetap menyayangi Saulus. Itulah sebabnya Tuhan tidak membalas kejahatan Saulus meskipun Saulus sangat jahat. Saulus diberi kesempatan untuk berubah. Tuhan menemui Saulus melalui penampakan dan mengubah hidup Saulus. Saulus berubah dan bertobat. Ia menyadari kesalahannya. Kini ia menjadi manusia baru dan namanya adalah Paulus. T ID A K U N T U K D IG A N D A K A N 34 Kelas V SD D. Proses Perubahan DiriAndaTidak Lagi Hidup Dalam Kegelapan – “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang,” (Efesus 5:8) Anda Telah Diampuni – “Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama Pertanyaan Jawaban Ketika berbicara tentang kehendak Allah, banyak orang akan memahaminya melalui tiga aspek yang dinyatakan Alkitab. Aspek pertama terkait perintah, kedaulatan, dan kehendak rahasia Allah. Ini adalah kehendak “utama” Allah. Aspek kehendak Allah yang ini akan datang seiring pengenalan atas kedaulatan Allah dan atribut Allah lainnya. Bentuk kehendak Allah yang ini akan berfokus pada pemahaman kalau Allah berdaulat menentukan segala sesuatu yang akan terjadi. Dengan kata lain, tidak ada yang terjadi di luar kedaulatan kehendak Allah. Aspek kehendak Allah ini terlihat dalam banyak ayat Alkitab seperti di Ef 111. Kita dapat belajar bahwa Allah adalah sosok yang “bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.” Begitu juga di Ayub 422, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Pandangan mengenai kehendak Allah ini berdasarkan fakta bahwa, karena Allah berdaulat, maka kehendak-Nya tidak akan mengecewakan. Tidak ada satu pun yang terjadi diluar kendali-Nya. Pengertian akan kedaulatan kehendak-Nya tidak berarti Allah menyebabkan segala hal terjadi. Melainkan, karena Ia berdaulat, Ia harus mengizinkan atau membolehkan segala hal untuk terjadi. Aspek kehendak Allah yang ini menunjukkan bahwa, bahkan ketika Allah secara pasif mengizinkan suatu hal untuk terjadi, Ia pasti memilih untuk mengizinkan hal itu, karena Ia selalu memiliki kuasa dan hak untuk campur tangan. Allah selalu dapat memutuskan untuk mengizinkan atau menghindari suatu hal terjadi di dunia ini. Maka, karena Ia mengizinkan berbagai hal terjadi, Ia menggariskan hal tersebut dalam perkataan. Kehendak Allah kerap tersembunyi dari kita sampai hal itu terjadi. Ada aspek lain dari kehendak Allah yang jelas bagi kita kehendak-Nya yang sudah dinyatakan atau yang sudah diwahyukan. Sesuai dengan namanya, aspek kehendak Allah yang ini berarti Allah telah memutuskan untuk menunjukkan beberapa kehendak-Nya dalam Alkitab. Kehendak Allah yang nyata berarti Allah yang menyatakan apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Sebagai contoh, karena kehendak Allah dinyatakan, kita dapat mengetahui bahwa Allah ingin kita tidak mencuri, mengasihi musuh, bertobat dari dosa, dan harus hidup kudus karena Ia kudus. Penjelasan mengenai kehendak Allah ini dinyatakan baik melalui Firman-Nya dan hati nurani kita, tempat Allah menaruh nilai moral dalam setiap hati manusia. Aturan Allah, apakah tertulis dalam Kitab Suci atau dalam hati nurani, menyatu dalam diri kita. Ketika kita tidak menaatinya, hal itu akan diperhitungkan kepada kita. Memahami aspek kehendak Allah akan mengajari kita bahwa ketika kita memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melanggar perintah Allah, kita tidak berhak melakukannya. Karenanya, tidak ada toleransi bagi dosa kita. Kita tidak dapat mengatakan bahwa dengan berdosa, kita menjalankan kehendak Allah. Yudas menggenapi kedaulatan kehendak Allah ketika mengkhianati Kristus, ataupun ketika tentara Roma menyalibkan Dia. Itu tidak membenarkan dosa yang diperbuat mereka. Mereka tidak kurang jahat atau berbahaya, dan karenanya mereka tetap bertanggungjawab atas penolakan mereka akan Kristus Kis 427-28. Walaupun kedaulatan kehendak Allah mengizinkan atau memperbolehkan dosa sampai bisa terjadi, kita tetap akan dimintai pertanggungjawaban olehnya. Aspek ketiga dari kehendak Allah yang dinyatakan Alkitab ialah kehendak Allah yang terbuka dan sempurna. Aspek dari kehendak Allah yang ini menggambarkan sifat Allah dan menjelaskan bagaimana menyenangkan-Nya. Sebagai contoh, sudah jelas bahwa Allah tidak senang ketika orang fasik harus dibinasakan, walaupun Allah sendiri yang menginginkan dan memerintahkan untuk membinasakan mereka. Penjelasan akan kehendak Allah ini diungkapkan dalam banyak ayat dalam Alkitab yang menjelaskan apa-apa saja yang menyenangkan dan tidak menyenangkan Allah. Sebagai contoh, dalam 1 Tim 24 kita melihat bahwa Allah “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran,” namun kedaulatan kehendak Allah juga menyatakan “tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman” Yoh 644. Jika kita tidak berhati-hati, kita dapat dengan mudah disibukkan atau bahkan terobsesi menemukan “kehendak” Allah dalam hidup kita. Padahal, jika kehendak yang kita cari adalah yang mengenai rahasia-Nya, yang tersembunyi, dan yang telah digariskan, maka kita melakukan hal yang bodoh. Allah tidak memilih untuk mengungkapkan aspek kehendak-Nya yang itu kepada kita. Apa yang kita perlu cari tahu ialah menunjukkan atau menyatakan kehendak Allah. Tanda sejati dari orang beriman ialah ketika kita ingin tahu dan hidup sesuai dengan kehendak Allah ang dinyatakan dalam Alkitab, dan “menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus” 1 Pet 115-16. Tanggung jawab kita adalah untuk menaati kehendak Allah yang dinyatakan, bukannya menerka-nerka kehendak-Nya yang tersembunyi bagi kita. Ketika kita mencari kehendak-Nya, kita tidak boleh lupa bahwa Roh Kudus yang akan memimpin kita pada kebenaran dan menjadikan kita semakin serupa dengan Kristus, sehingga hidup kita bisa semakin memuliakan Allah. Allah memanggil kita untuk menghidupi setiap firman yang keluar dari mulut-Nya. Hidup sesuai dengan kehendak yang dinyatakan-Nya akan memimpin hidup kita. Rom 121-2 menyimpulkan kebenaran ini, karena kita dipanggil untuk mempersembahkan “tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Untuk mengetahui kehendak Allah, kita harus menundukkan diri kita kepada Firman Tuhan, memenuhi pikiran kita dengannya, dan berdoa kepada Roh Kudus untuk mengubah kita melalui pembaruan pikiran, sehingga menghasilkan yang baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna – kehendak Allah. English Kembali ke halaman utama dalam Bahasa Indonesia Apakah kehendak Allah itu?
Aliraadah ar-rabbaaniyyah (kehendak Allah Azza wa Jalla) terbagi menjadi dua macam: 1. Iraadah Kauniyyah Qadariyyah (Sunnatullah). Iraadah ini semakna dengan masyii-ah (kehendak Allah), dan mengenai iraadah ini, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari ruang lingkupnya. Orang kafir dan muslim sama berada dalam iraadah kauniyyah ini.
Download Apa yang Allah Kehendaki bagi Saya? Jawaban Alkitab Allah menghendaki agar Anda mengenal Dia secara pribadi, menjadi akrab dengan-Nya, dan mengasihi serta melayani Dia dengan sepenuh hati. Matius 2237, 38; Yakobus 48 Bagaimana caranya? Dengan mempelajari kehidupan dan ajaran Yesus. Yohanes 716, 17 Yesus tidak hanya berbicara tentang kehendak Allah—ia menjalankannya. Yesus malah mengatakan tentang tujuan hidupnya, ”Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakku, melainkan kehendak dia yang mengutus aku.”—Yohanes 638. Apakah saya perlu mendapat panggilan, pertanda, atau penglihatan untuk tahu kehendak Allah bagi saya? Tidak, karena pesan Allah untuk manusia ada dalam Alkitab. Alkitab berisi semua yang Anda butuhkan agar ”diperlengkapi secara menyeluruh untuk setiap pekerjaan yang baik”. 2 Timotius 316, 17 Allah ingin agar Anda menggunakan Alkitab dan ’daya nalar’ untuk mencari tahu apa kehendak-Nya bagi Anda.—Roma 121, 2; Efesus 517. Sanggupkah saya melakukan kehendak Allah? Ya, karena Alkitab meyakinkan kita, ”Perintah-perintah-Nya tidaklah berat untuk kita.” 1 Yohanes 53, Bahasa Indonesia Masa Kini [BIMK] Itu tidak berarti menaati semua perintah Allah itu mudah. Namun, manfaatnya jauh melebihi upaya yang harus Anda kerahkan. Yesus sendiri mengatakan, ”Lebih berbahagia lagi orang yang mendengar perkataan Allah dan menjalankannya!”—Lukas 1128, BIMK.Menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak bisa tidak mesti mengacu pada pakem ulama ahli tafsir. Bila tidak, potensi salahnya sangat besar, apalagi bila sang penafsir awam tentang kitab-kitab tafsir, ulumul qur’an, dan kaidah tafsir. Contoh ayat yang kerap dikutip penceramah atau motivator—lalu menafsirkannya—adalah Surat Ar-Ra’d ayat 11 berikut لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ Artinya “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” QS Ar-Ra’d 11. Ayat di atas sering dipotong oleh sebagian kalangan dengan hanya mengambil bagian ayat berikut إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ Artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Tafsiran seperti ini bertentangan dengan realitas lapangan. Berapa banyak orang yang berusaha mengubah nasib mereka dengan membanting tulang, kaki di kepala dan kepala di kaki, demi ingin mengubah nasibnya menjadi lebih baik, tapi berapa persen dari mereka yang berhasil? Ayat Al-Qur’an merupakan sebuah kepastian. Jika diartikan bahwa perubahan nasib menjadi lebih baik di tangan seseorang, tentu tidak akan ada orang gagal dari usahanya. Buktinya tidak demikian. Selain itu, keyakinan bahwa semua kesuksesan dikembalikan kepada pribadi seseorang—baru Allah mengikutinya—merupakan bagian dari doktrin Mu’tazilah. Dalam paham ini, perilaku hamba menentukan segalanya. Lalu bagaimana tafsir ulama pada ayat di atas? لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِاللهِ Sebagian ulama, sebagaimana dikutip oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia selalu didampingi oleh malaikat siang–malam yang silih berganti. Malaikat siang datang, pada saat itu juga malaikat malam meninggalkan seseorang. Saat sore, malaikat siang pergi sedangkan malaikat malam mulai datang. Menurut sebagian ulama, malaikat yang silih berganti ini bernama malaikat hafadzah. إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ Masih menurut At-Thabari, maksud ayat ini justru menjelaskan bahwa semua orang itu dalam kebaikan dan kenikmatan. Allah tidak akan mengubah kenikmatan-kenikmatan seseorang kecuali mereka mengubah kenikmatan menjadi keburukan sebab perilakunya sendiri dengan bersikap zalim dan saling bermusuhan kepada saudaranya sendiri. يقول تعالى ذكره إن الله لا يغير ما بقوم، من عافية ونعمة، فيزيل ذلك عنهم ويهلكهم = حتى يغيروا ما بأنفسهم من ذلك بظلم بعضهم بعضًا، واعتداء بعضهم على بعض، Artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka yaitu dengan sikap dzalim antar sesama dan permusuhan terhadap orang lain” Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah 2000], juz 16, hlm. 382. Ayat di atas menunjukkan bahwa hakikat setiap manusia itu sebagai orang yang berhak mendapatkan kenikmatan penuh, karena pada dasarnya mereka adalah suci sebagaimana dalam ayat فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا Artinya “Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” QS Ar-Rum 30. Dalam hadits, Rasulullah bersabda كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، Artinya “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci” HR Bukhari. Jika setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, tentu dia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kenikmatan dari Allah. Perubahan status menjadi Majusi, Yahudi, Nasrani adalah andil orang tua atau dirinya sendiri. Berbeda dengan pemahaman jika semua nasib orang itu buruk, untuk mendapatkan nasib yang baik harus mengubahnya. Ini tidak sesuai dengan pemahaman para ulama ahli tafsir. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan قَوْلُهُ تَعَالَى إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ أَخْبَرَ اللهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يَقَعَ مِنْهُمْ تَغْيِيرٌ، إِمَّا مِنْهُمْ أَوْ مِنَ النَّاظِرِ لَهُمْ، أَوْ مِمَّنْ هُوَ مِنْهُمْ بِسَبَبٍ، كَمَا غَيَّرَ اللهُ بِالْمُنْهَزِمِينَ يَوْمَ أُحُدٍ بِسَبَبِ تَغْيِيرِ الرُّمَاةِ بِأَنْفُسِهِمْ، إِلَى غَيْرِ هَذَا مِنْ أَمْثِلَةِ الشَّرِيعَةِ، فَلَيْسَ مَعْنَى الْآيَةِ أَنَّهُ لَيْسَ يَنْزِلُ بِأَحَدٍ عُقُوبَةٌ إِلَّا بِأَنْ يَتَقَدَّمَ مِنْهُ ذَنْبٌ، بَلْ قَدْ تَنْزِلُ الْمَصَائِبُ بِذُنُوبِ الْغَيْرِ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَقَدْ سُئِلَ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ- نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ Artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Dalam ayat ini Allah member tahu bahwa Ia tidak mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka ada yang mengubahnya. Bisa jadi dari golongan mereka sendiri, pengamat, atau faktor penyebab yang masih mempunyai hubungan sebagaimana para pasukan yang dikalahkan pada saat perang Uhud disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh ahli panah. Demikian pula contoh-contoh dalam syari’at. Ayat ini tidak mempunyai arti bahwa kekalahan perang Uhud murni disebabkan perilaku dosa seseorang, tapi terkadang musibah-musibah itu turun disebabkan oleh dosanya orang lain sebagaimana sabda Nabi Muhammad ketika ditanya salah seorang “Wahai Rasul, apakah kita akan mengalami kehancuran sedangkan di antara kita ada yang shalih?” Jawab Nabi “Ya, jika ada banyak pelaku zinanya” Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Darul Kutub al-Mishriyyah Kairo, 1964], juz 9, hlm. 294. Kedua tafsir tersebut, baik ath-Thabari maupun al-Qurthubi, sepakat bahwa manusia pada dasarnya menerima anugerah kenikmatan tapi perilaku manusia dapat mengubah kenikmatan itu menjadi keburukan atau musibah. Hanya saja, Imam al-Qurthubi berpendapat, faktor berkurangnya atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Menurutnya, faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri, bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya, sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Pasukan Muslimin pada perang Uhud kalah bukan lantaran kesalahan semua pasukan, tapi ada kesalahan beberapa individu saja tapi orang lain mendapatkan getahnya. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak sistemik lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan. Dalam kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Imam Baidhawi juga menyatakan إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ من العافية والنعمة. حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ من الأحوال الجميلة بالأحوال القبيحة Artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kamu dari kesehatan dan kenikmatan sampai mereka mengubah dengan individu mereka dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk. Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Daru Ihyait Turats al-Arabi Beirut, juz 3, hal. 183 Menjadikan ayat tersebut untuk memotivasi orang agar berbuat yang terbaik dan berjuang maksimal merupakan langkah positif. Hanya saja perlu dicatat, perjuangan dalam konteks ayat tersebut bukan mengubah yang buruk menjadi baik, tetapi merawat agar anugerah yang baik-baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita. Meski sekilas terlihat mirip, kedua sikap di atas sejatinya berangkat dari paradigma yang berbeda. Yang pertama berangkat dari "keangkuhan" akan potensi diri sendiri, sementara yang kedua berlandaskan pada keyakinan bahwa semua yang Allah berikan pada dasarnya baik, dan kita berkewajiban memeliharanya dengan baik. Poin terakhir ini mengandaikan ketergantungan yang kuat kepada Allah subhanahu wata'ala. Wallahu a’lam. Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang, Jawa Tengah
Karenaorang-orang miskin selalu ada padamu, dan kamu dapat menolong mereka, bilamana kamu menghendakinya, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu. 14:8 Itoe perampoewan soedah berboewat sabolih-bolihnja; dia soedah dateng lebih doeloe toewang minjak wangi dibadankoe, sabelomnja ija-itoe ditanem. Ia telah melakukan apa yang dapat
وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُؕ مَا كَانَ لَهُمُ الۡخِيَرَةُ ؕ سُبۡحٰنَ اللّٰهِ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشۡرِكُوۡنَ Wa Rabbuka yakhuluqu maa yashaaa'u wa yakhtaar; maa kaana lahumul khiyarah; Subhannal laahi wa Ta'aalaa 'ammmaa yushrikuun Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka manusia tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. Juz ke-20 Tafsir Begitulah yang akan dialami orang-orang musyrik di akhirat kelak. Semuanya kembali kepada hikmah dan kebijaksanaan Allah dalam segala hal, termasuk menjadikan hati yang terbuka untuk menerima hidayah dan hati yang tertutup. Dan Tuhan Pemelihara-mu menciptakan apa dan siapa yang Dia kehendaki untuk diciptakan, dan memilih apa dan siapa yang Dia kehendaki untuk menerima anugerah dan mengemban amanat dari-Nya. Sekali-kali bagi mereka yang diciptakan, baik manusia maupun selainnya, tidak ada pilihan lain kecuali menerima ketetapan-Nya, suka atau tidak suka. Mahasuci Allah dari segala sifat dan tindakan yang buruk atau salah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan dengan mengangkat berhala-berhala sebagai sembahan selain Allah. Apa pun yang dialami oleh manusia, senang atau sedih, bukan mereka yang memilihnya, tetapi Allah yang memilihnya, sehingga harus diterima dengan lapang dada. Manusia hanya diminta untuk berusaha semaksimal mungkin dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Ayat ini menerangkan bahwa Allah yang menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dia satu-satunya yang berwenang memilih dan menentukan sesuatu hal, baik yang tampak maupun yang tidak, sebagaimana firman-Nya Apakah pantas Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui. al-Mulk/67 14 Dan firman-Nya Dan tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan? al-Baqarah/2 77 Allah Maha Mengetahui semua makhluk-Nya, mengetahui hal ihwal, watak, dan karakternya. Kemudian Dia memilih dari hamba-hamba-Nya, siapa di antara mereka yang berhak dan wajar menerima hidayah dan diangkat menjadi rasul yang mampu melaksanakan tugasnya. Firman Allah Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. al-An'am/6 124 Bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih sesuai keinginannya. Ia harus menerima dan menaati apa yang telah ditetapkan Allah. Firman Allah Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka. al-Ahzab/33 36 Ayat ini diakhiri dengan satu penjelasan bahwa Allah Mahasuci dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi pilihan-Nya dan membatalkan ketentuan-Nya. Bagaimanapun keinginan dan kegigihan Nabi Muhammad memberi petunjuk untuk mengislamkan pamannya, Abu thalib, dan bagaimanapun kehendak dan kesungguhan penduduk Mekah supaya diutus seorang rasul dari kalangan mereka, semuanya itu gagal dan tidak terlaksana. Hanya pilihan dan ketentuan Allah yang berlaku dan menjadi kenyataan. sumber Keterangan mengenai QS. Al-QasasSurat Al Qashash terdiri atas 88 ayat termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Dinamai dengan Al Qashash, karena pada ayat 25 surat ini terdapat kata Al Qashash yang berarti cerita. Ayat ini menerangkan bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Nabi Syua'ib ia menceritakan cerita yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yakni pengalamannya dengan Fir'aun, sampai waktu ia diburu oleh Fir'aun karena membunuh seseorang dari bangsa Qibthi tanpa disengaja, Syua'ib menjawab bahwa Musa telah selamat dari pengejaran orang-orang zalim. Turunnya ayat 25 surat ini amat besar artinya bagi Nabi Muhammad dan bagi sahabat-sahabat yang melakukan hijrah ke Madinah, yang menambah keyakinan mereka, bahwa akhirnya orang-orang Islamlah yang menang, sebab ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang berhijrah dari tempat musuh untuk mempertahankan keimanan, pasti akan berhasil dalam perjuangannya menghadapi musuh-musuh agama. Kepastian kemenangan bagi kaum muslimin itu, ditegaskan pada bagian akhir surat ini yang mengandung bahwa setelah hijrah ke Madinah kaum muslimin akan kembali ke Mekah sebagai pemenang dan penegak agama Allah. Surat Al Qashash ini adalah surat yang paling lengkap memuat cerita Nabi Musa sehingga menurut suatu riwayat, surat ini dinamai juga dengan surat Musa.